Lagi-lagi, tidak diangkat, ini sudah yang kelima kalinya ia menelpon. Dengusan kasar terdengar, begitu juga saat handphonenya diturunkan. Dari masih berpijak di lantai rumah, hingga duduk di kursi kemudi, ia tak kunjung dapat jawaban.
Yah mau bagaimana lagi.
Ia masukkan ponsel pintar itu ke saku jaketnya, melepas sabuk lalu menuruni mobil, menyusuri gedung untuk mencari orang yang dari tadi ia tandai.
Sampai di lantai tiga, kafe komik, tepat pintu terbuka, matanya dapat langsung tertuju pada pria bersurai pirang yang sedang duduk tak jauh dari sana bersama kumpulan temannya.
“Find u.”
Seiring ia melangkah, pria itu juga menyadari kedatangannya, agak terkesiap.
“Hei, istrimu,” kata teman sebayanya, Terrence, kepada si pirang — yang rautnya seperti berkata, “aku tahu,” tapi di sisi lain, “ah, tidak…”
“Aku udah nelpon kamu berkali-kali loh.” Itu yang sang puan lontarkan tatkala berhenti di depan para lelaki.
“Maaf, hp-nya kumatikan, tadi lagi ngobrol.”
Yah, ia tahu, jelas ponselnya tidak aktif, tapi yang jadi sorotannya adalah, suara yang keluar dari mulut suaminya terdengar berbeda, dan ia sangat yakin apa penyebabnya.
“Ayo pulang.”
“Eh?”
“Ayo pulang, Willem.”
Nampak kekecewaan tercermin di matanya. Sejujurnya ia masih ingin berada di sini, bersama teman-temannya, namun tak terbesit untuk keluar satu bantahan pun dari hatinya, karena ia tahu itu akan sia-sia. Sekali A maka tetap A.
Willem bangkit, menyamai posisi istrinya. Hendak pergi, tapi tiba-tiba temannya yang berambut jingga— Daniel, mengucapkan sesuatu.
“Hei, Johanna, style baru ya? Aku suka wolfcut pirangmu itu, juga jaket kulitnya, beli di mana, by the way?”
Willem berbalik, menatapnya sinis. “Kak, dia istriku.”
“Kenapa? Aku kan cuma suka gayanya aja, sama nanya, bukan godain,” elaknya.
Jangan salahkan Willem, ia takut jika temannya yang tiga tahun lebih tua itu berulah lagi. Pria itu kan kembarannya alligator, tapi tenang saja, ia bukan orang brengsek kok, hanya tengil saja.
“Cocok, blonde couple, aku suka lihatnya, kuningnya gak terlalu mencolok, ma-”
“Tolong jangan mulai lagi, master…”
Kali ini dua temannya yang lain, si jangkung— Stephen dan si rambut coklat— Ben, yang sepertinya akan berseteru. Habis ia sudah muak jika Ben menunjukkan sisi sepuhnya itu.
“Haha, makasih,” timpal Johanna.
“Untuk apa?” Terrence tahu ada maksud lain di balik ucapan terima kasihnya itu— oh ngomong-ngomong, ia teman Willem yang paling dekat dengannya, mereka juga sebaya.
“Karna pujiannya, dan udah jagain Willem.”
Stephen menggembungkan pipinya menahan tawa. Willem tersenyum kikuk, mengapa ia merasa lebih diperlakukan seperti anak daripada suami?
Untungnya sebelum terjadi huru-hara, Johanna telah lebih dulu menarik tangannya dari sana.
“Dadah, adek!”
Sial, iya sih dia yang paling muda, tapi ia tahu maksud Stephen memanggilnya begitu karena orang itu meledeknya seperti bayi.
“Padahal tadi lagi asik.” Kini ia jadi lebih berani jika sudah terlentang di ranjangnya.
“Gak mungkin asik kalau kondisimu kayak begitu,” sanggah Johanna yang dari jarak dua meter baru saja berganti baju.
Willem menatap istrinya dengan alis mengerut, Johanna yang mengerti bahwa itu pertanyaan, langsung melanjutkan ucapannya, “kamu pikir aku gak tahu kenapa suaramu jadi serak begitu? Kamu sakit.”
“Aku gapapa kok.” Willem tak kalah menyanggahnya. Lima detik setelah kata itu dilontarkan, ia dapat merasakan sentuhan menyelimuti badannya.
Irisnya bergerak menangkap presensi sang pelaku yang berada di balik bahu lebarnya. “Joa? Kenapa?”
Wanita itu hanya berkata, “biar kamu gak kemana-mana.”
Wow, jarang-jarang ia melihat sisi istrinya yang seperti ini.
“Aku gak bisa ngapa-ngapain dong.”
“Pokoknya.jangan.pergi.kamu.lagi.sakit.” Johanna makin mengeratkan pelukannya.
“Aku bukan anak bayi.”
“Yes, you’re a baby— my baby.”
Si Joa ini, dia tidak tahu ya, kalau Willem diperlakukan seperti ini, kan ia akan mengharap lebih.
“Duh apa sih, kayak lelucon bapak-bapak aja.” Walaupun begitu, semburat merah muncul di pipinya, tapi mulutnya juga ingin tertawa, Willem tahu pasti istrinya juga merasakan hal yang sama, makanya Joa tak kunjung membalas.
“Emangnya kamu gak takut ketularan kalo deket-deket begini?”
“Enggak.”
“Yaudah, mumpung lagi kayak gini, how about we make a real baby — AW!” Ucapannya terpotong dan berganti menjadi teriakan tatkala pinggangnya dicubit tiba-tiba.
“Dasar. Got fever but still being a pervert?”
“Padahal tadi kamu sendiri yang bilang kalo gak takut ketularan…”
“Makanya, cepet sembuh dong!”
Oh, Willem paham maksudnya. Ternyata Johanna juga sama saja sepertinya.
“Gimana aku mau sembuh? Tiduran sepanjang hari di sini?”
“Oke, aku lepasin kamu. Kayaknya acara nongkrong-nongkrong tadi udah ngerubah aroma kamu juga. Mandi sana.” Tangan kecil itu kini sudah benar-benar lepas dari pinggangnya.
“Aku doang? Kamu enggak?” Ia menghadap istrinya.
“Kenapa aku?”
“Ya siapa tau mau ikut juga? Bareng kayak kemarin?”
Lagi-lagi Johanna berubah layaknya kepiting rebus. “A-aku udah mandi! Sana kamu aja!”
Willem bangkit ke kamar mandi sambil tertawa puas. Dari balik pintu itu, kepalanya muncul sebentar untuk memberi satu kalimat yang makin membuat istrinya tak karuan.
“By the way, u look so gorgeous with that curtain bangs and blonde things. Kegiatan mewarnai kita di sini yang kemarin itu berhasil ya?”