midnight barber

rai 🕊
5 min readApr 2, 2024

--

disclaimer! fiction ; kaily marriage!au ; kiss scene ; dirty talk ; not minor friendly ; harshwords ; broken english

Masih dengan mata terpejam, dia meraba-raba sisi sampingnya pada ranjang.

“Where is he?”

Kosong. Saat itu baru matanya terbuka dalam gelapnya seisi kamar, sulit untuk melihat yang dicari dalam situasi seperti ini, tapi malas rasanya bergerak meraih saklar yang berada cukup jauh dari posisinya.

Untung indra pendengarannya masih dapat menangkap suara keran dari dalam kamar mandi di sebrang. Ia tepis selimut hangatnya untuk menghampiri asal suara itu.

Benar dugaannya. Di balik satu-satunya cahaya dalam gelap, berdiri seorang pria yang tengah bertelanjang dada sambil menghadap cermin besar. Siapa lagi kalau bukan suaminya.

“Willem, kamu ngapain?”

Kedatangannya disambut oleh senyuman merekah itu. “Oh, Jo! Aku mau mandi.”

“Tengah malem gini? Tumben.”

“Aku mau ke tukang cukur soalnya.”

Johanna mengusap wajahnya, tak paham lagi. “Kamu ngigo ya? Mana ada barbershop tengah-tengah malem begini?”

“Ada kok, kamu aja yang gak tau. Udah ya, aku mau mandi.” Hampir saja pintu ditutup oleh Willem jika sang istri tidak menahannya lewat satu detik.

“Gak. Kamu gak boleh pergi sejengkal dari rumah di jam 12 malem dengan alasan yang gak make sense.” Mulai, lagi-lagi ia bertingkah seakan suaminya akan pergi ke menara atas lava yang dijaga oleh naga raksasa.

“Lagipula mandi tengah malem? Kamu mau jadi popsicle?” Sebenarnya Willem ingin sekali tertawa.

“Tapi Jo, rambutku udah mulai panjang, aku gak nyaman.” Bisa-bisanya ia mengeluarkan jurus wajah tak bersalah dengan memanyunkan bibir dan memainkan rambut hitamnya itu.

Johanna mendengus kasar, ia segera meraih gunting yang terletak di wastafel, lalu menyuruh Willem untuk mengambil posisi duduk (Jangan tanya, di dalam kamar mandi sebesar lobi itu memang ada kursi).

Tanpa berkata apa-apa, diangkat rambut sehalus sutra itu lalu dipangkas sedikit demi sedikit, yang menjadi “pelanggan” hanya diam untuk sementara. Kaget.

Oh, ia mengerti.

“Jadi aku beneran gak boleh ke barbershop?”

“Iya, biar kamu gak ke sana.”

Semburat senyum muncul di wajahnya. Ia harap Johanna tidak dapat melihatnya, tapi sayang, cermin di hadapan mereka tak dapat menuruti itu.

“Hei, aku boleh request gaya rambut Troy Bolton?”

“Hah? Gak ada yang lain aja.”

“Bukannya kamu suka sama dia?”

“Udah tau rambut kamu mau dipotong, mana bisa ngikutin rambut panjang kayak jamur itu.”

“Berarti harus yang pendek ya? Kalo gitu… Saitama.”

“Itu bukan pendek lagi!”

“HAHAHA. yaudah, Leonardo DiCaprio.”

10 menit berlalu, helai demi helai rambut yang terpotong jatuh ke badan, rasanya gatal dan tidak nyaman. Biasanya orang yang potong rambut kan akan memakai kain kep, tapi ia tidak.

“Jo, kayaknya aku tetep mau mandi.” Willem menyingkirkan kumpulan rambut yang menempel.

“Kenapa?”

“Kamu gak liat ya?”

Lalu matanya beralih pada krim bleaching dan pewarna rambut di depannya. “Aku juga mau coba warna pirang, kamu mau ikut?” Ia menatap rambut oranye milik Johanna.

“Sounds great.” Kalau dipikir-pikir warna oranye itu sudah bertahan selama enam bulan, jadi apa salahnya untuk mengganti yang baru?

“Tapi kamu harus ikut mandi!” Tanpa aba-aba Willem mengangkat tubuhnya seperti pengantin yang dibawa ke bak mandi tidur.

“HEI!” Terdengar marah, tapi anehnya ia tidak melawan saat lingerie-nya diturunkan perlahan oleh sang suami yang kini duduk di belakang— dalam bathtub. Kali ini Johanna yang berperan sebagai pelanggan.

Willem mengoleskan krim bleaching pada surai istrinya, lalu beralih dengan pewarna rambut kuning. Begitu juga sebaliknya, ketika giliran Johanna sudah selesai, kini ia yang mendapat pelayanan serupa. Tanpa bertukar posisi, Joa hanya sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Willem, menimbulkan salah fokus di antara mereka.

“Shit. Blonde make him more breathtaking.”

“Sial.”

Terkadang ia tak sadar akan kecantikannya sendiri.

“Udah selesai.”

“Hah?”

“Aku udah selesai cat rambut kamu.”

“Oh..”

Dia bahkan tak sadar akibat terlalu sibuk memandangi nonanya.

“Jadi aku udah mirip Leonardo DiCaprio belum?”

“Ih, jauh lah! Gantengan Leo!”

“Iihh gantengan aku dong, buktinya kamu nikahinnya aku, bukan Leo.”

“Karna beda era, kalo kita satu era, mungkin aku nikahnya sama Leo.”

“Jahat.”

“HAHAHAHAHAHA!”

“Tuh kan, ketawa jahat.”

Entah bentuk hukuman atau apa, tapi lengan Willem reflek mengunci perut Johanna yang mungil, dagunya melakukan hal yang sama pada bahu, punggung Johanna benar-benar bertabrakan dengan kulitnya, memberikan sensasi geli.

“WILLEM SIALAN. DIA GAK SADAR YA MUKANYA UDAH KAYAK PAHATAN YANG GAK BISA DINALAR? MANA PIRANG PULA. DASAR PATUNG YUNANI.”

Johanna mencoba sebisa mungkin untuk menghindari kontak mata pria yang tengah menikmati aroma tubuhnya itu. “Kamu sengaja ya?”

“Hm? Sengaja apa?”

“Aku gak bodoh, mana ada barbershop yang buka tengah malem begini.”

Willem memang aneh, ia suka sekali memberi kode yang tidak terduga, orang selain Johanna mungkin tidak akan peka dengan tingkahnya itu. Tentu saja barber yang ia harapkan pelayanannya itu adalah istrinya sendiri.

“Enggak kok.”

Dasar denial.

“Iya.”

“Enggak.”

“I— ”

Suaranya terpotong karena bibirnya dikunci oleh milik sang lawan, membuat matanya melebar seketika.

“Kenapa kamu gak nolak waktu kuajak mandi bareng? Padahal tadi ngelarang karna dingin.”

Johanna memasang muka kikuk. “Setidaknya… lebih mending kalo kedinginan bareng.”

Senyum sejuta arti itu muncul lagi pada wajah Willem. Tanpa mengalihkan pandangan, tangan kanannya bergerak ke belakang memutar keran shower, lalu kembali ke tempat awal. Kini mereka benar-benar basah akibat dihujani air yang mengucur.

Johanna pun tak mengalihkan pandangan, sepertinya ia telah tersihir oleh ketampanan itu, memberikan Willem kesempatan untuk menguasai ranumnya lagi, mengulumnya lembut sampai kedua lidah itu bertemu.

Ia sangat beruntung bisa memilikinya sehingga dapat menikmati pahatan indah itu setiap hari.

Lumatannya tidak kunjung berhenti walau rintik air telah menyakiti kulit mereka.

“Willem— ”

Ini semakin di luar kendali.

“Aw!”

Barulah saat itu ia berhenti. “Kenapa?” Untungnya ia masih bisa khawatir.

Johanna meringis, mengelus lehernya, bagaimana tidak, ia telah menoleh cukup lama, dihujani air ke muka, kehabisan napas, dan yang paling gawat, jari Willem sudah bergerak ke atas melewati perutnya.

“It feels weird here.”

Mengerti, Willem segera mematikan shower, lalu berbisik, membuat Johanna merinding. “Mau mandi tiga kali?”

Jantungnya berdetak tak karuan. “Kita kan baru aja selesai mandi?”

“Ini yang pertama— mandi beneran— sama yang ketiga nanti. Kalau yang kedua… tebak sendiri.”

Pipi Joa langsung berubah warna layaknya udang rebus, lagi-lagi belum sempat ia menimpal, Willem sudah mengangkatnya kembali ke tempat bermalam.

“Sial, Willem! Aku tau kau ingin balas dendam karna sudah kumarahi, tapi energiku akan terkuras habis!”

--

--

rai 🕊
rai 🕊

Written by rai 🕊

"sensei, i wanna talk about my life, what should i do from now on?"

Responses (7)